--> Cinta Ma, Tina | Zahrul Share

Friday, April 19, 2019

Cinta Ma, Tina

| Friday, April 19, 2019
Saya come back....

😁😁

Saya pernah bilang kalau saya pengen jadi penulis sejak kecil, tapi belum kesampaian sampai sekarang. Pernah juga saya kirim cerpen ke majalah tapi sampai hampir setahun kagak ada kabar...😞

Jadi daripada mubadzir saya bagi oret-oretan saya di sini ya.

Selamat membaca😊

Via.pixabay

Cinta ma,Tina

Tina menatap bayangan dirinya di cermin tua itu. Sudah hampir satu jam berlalu ia mencoba mencari di mata letak kecantikannya. Dan selama satu jam itu tahulah dia kenapa semua lelaki menolaknya. Dia terlalu jelek, tak cukup cantik seperti gadis-gadis lain, tak pandai berdandan atau memakai pakaian yang bagus.

Perlahan tangannya bergerak menyisir rambutnya yang kusut, sudah 3 hari ia tak menyisirnya. Bayangan di cermin itu mengikuti gerakannya. Tina menangis, air matanya mengalir dengan pelan tanpa suara.

Tak apa jika semua lelaki mengejek dan tak menganggapnya wanita, ya tak apa jika mereka membenci tanda hitam yang terpampang jelas di pipi kirinya karena ia sendiri juga membencinya. Tapi Tina hanya ingin satu orang.

Rio.

Ia sudah berusaha dekat dengan dengan pria itu selama 2 tahun ini. Meski awalnya Rio juga tak mengangggapnya seperti kebanyakan orang, tapi setelah 5 bulan terlewat di organisasi yang sama mereka bisa jadi teman.

Sering kali Tina membantu Rio mengerjakan tugas-tugas kampusnya.
Waktu mereka semakin dekat Tina mulai mendegar gosip soal beauty and the beast terbalik. Telinganya panas karena omongan teman-teman di kampusnya, mereka tak tahu bagaimana usaha Tina untuk dekat dengan Rio, mereka tak tahu seberapa besar cintanya pada Rio.

Untungnya Rio tak berubah dengan adanya gosip itu. Ia tetap meminta bantuan Tina untuk mengerjakan tugas kampusnya. Tina merasa bahwa Rio mungkin mulai peduli padanya, ia begitu bersemangat mondar-mandir hanya demi membantu semua pekerjaan Rio.

Sejauh itu semua berjalan lancar, Tina juga tahu Rio belum punya kekasih. Entah apa sebabnya, padahal Rio bukan pria cupu dan tak pandai bergaul, sebaliknya, semua anak di kampus mengenal siapa Rio.
Dia lelaki yang sangat menawan, yang di mata Tina selalu terlihat berkilauan.

Dan Tina sangat bahagia karena ia bisa jadi satu-satunya wanita yang paling sering berada di dekat Rio.

  "Tin, ntar sore bantu ngerjain tugas kuliah ya, ketemu di kafe biasa." Kata Rio suatu siang. Semua mata memandang mereka berdua, menyebar omongan-omongan kasar dan curiga. Tina tak mau memperdulikannya, ia memasang senyum terbaiknya.

  "Baiklah"

Hatinya masih bersorak sampai sosok Rio keluar dari katin. Ia menikmati makan siangnya dengan lebih cepat. Suara tawa para gadis terdengar begitu ramai di belakangnya, bisik-bisik mereka jelas melibatkan nama Tina di dalamnya. Tapi tina tak menggubrisnya, ia segera beranjak meninggalkan kantin. Jauh di dalam hatinya ia ingin menagis mendengar semua berita buruk tentang dirinya. Kenapa tak ada seorang temanpun untuknya? Ia juga ingin berbagi cerita, juga mendengarkan curhatan seseorang.


Tahun-tahun terakhir di kampus menjadi masa paling sibuk bagi Tina, ia harus menyusun skripsinya dan juga tetap membantu Rio dengan tugas kuliah yang sekarang bertambah makin banyak. Ia dan Rio memang terpaut satu tahun.

Tina merasa lelah, ia hanya mendapat 4 jam tidur dalam sehari, seluruh tubuhnya terasa pegal-pegal. Tapi Rio selalu berhasil menarik semangatnya lagi, meski hanya dengan melihat senyumnya tina bisa mendapat efek yang luar biasa. Baginya Rio adalah segala-galanya. Tujuan hidup dan cita-citanya. Ia yakin sekali Rio tercipta untuk dirinya seorang, cinta matinya.

Sampai suatu hari...

  "Sayang lah kalau dibuang, kan ada fungsinya itu cewek, lumayan buat bantu-bantu tugas kuliah."

Deg, jantung tina serasa berhenti saat itu juga. Ia mematung di tempatnya, tak bisa bergerak sedikitpun. Seperti itukah perasaan Rio sebenarnya? Itu bukan cinta.

Tina berusaha keras berpindah dari tempatnya, terseok-seok menuju kamar mandi dengan mata buram karena air mata. Perkataan Rio barusan menyadarkan sekaligus menamparnya dengan keras. Ia menangis seharian penuh di bilik kamar mandi. Harapan satu-satunya soal cinta yang tak pernah ia miliki sudah pupus, ia salah menilai, salah berusaha. Rasanya luar biasa sakit.

  "Tolong aku, Rio" tapi bahkan ketila ia merasa tersakiti oleh Rio, hanya nama itu yang bisa ia sebut.

Tina bertekad untuk melupakan Rio, tapi ketika ia melihat Rio di kampus dan pria iu menyapanya, Tina tahu ia tidak bisa, ia masih berharap pada Rio sebesar apapun sakit hatinya pada pria itu.

Pikirannya mulai melupakan kejadian itu. Mukin ketika itu Rio hanya mau melindunginya dengan pura-pura menjauh seperti banyak orang. apapun alasannya Tina tak mengingatnya lagi begitu bertemu Rio.

3 bulan setelah itu. Tepat seminggu sebelum kelulusan, tina melihat Rio sedang bermesraaan dengan seorang prempuan di suatu kafe, untuk ke dua kalinya Ia merasa dikhianati. Siapa prempuan itu, bukankah Rio tak punya kekasih.

Tak ingin pikiran itu terus mengganggunya dan takut ia hanya salah paham. Sore itu tina memberanikan dirinya untuk bertanya langsung pada Rio.

  "Gadis, yang di kafe bersamamu itu siapa?    "Tanyanya terbata, berharap Dugaannya salah.
Rio terpaku sesaat, ia tahu Tina menyukainya tapi ia sama sekali tak menyukai gadis itu.

  "Gadis?" Matanya berputar, mencoba mencari jawaban yang tepat.

  "Ya, aku melihat kalian kemarin."
  "Sungguh?"
  "Siapa dia?"
  "Itu, pacarku." Tak ada gunanya menyembunyikan kenyataan itu lama-lama. Tina harus menerimanya cepat atau lambat.

  "Maafkan aku Tina, aku tahu kau menyukaiku sejak lama, tapi aku dan gadis itu... kami sudah berhubungan jauh sebelum kau mengenalku"

Kemarahan memenuhi benak Tina, lalu untuk apa selama ini semua usahanya, apa artinya ia bagi Rio. apa arti semua perhatian itu? Kenapa dunia begitu tidak adil.
Tanpa mengucapkan apapun tina meninggalkan Rio dan tak menemui pria itu lagi.
Tapi apapun yang terjadi Tina masih mencintai Rio, ia tak menginginkan pria lain, tak mau hal lain selain Rio. Ia menangis dan menjerit di kamarnya, merasa bahwa kehidupan begitu membencinya sampai ia tak diberi kesempatan untuk sebuah cinta.

Tidak, jika dunia tidak memberiku keadilan, aku akan membuatnya sendiri.

3 hari kemudian tiba-tiba Rio tidak datang ke kampus. Pertanyaan dan gosip beredar di mana-mana. Karena Sampai hari kelulusan tiba Rio juga tak bisa di hubungi atau di temui. Padahal rencananya dia akan jadi MC nya.

Tina hanya mendengar semua gosip itu dengan diam, kesedihan terpancar di matanya. Hampir setiap saat matanya tampak merah dan sayu.

  "Kurasa dia gila, Rio pergi tanpa pamit pasti untuk menghindarinya"
Rasanya panas, Tina mengepalkan tangannya.
  "Kau tak tahu apapun, kalian tak tahu apapun" gumamnya berulang kali.
Setelah hari kelulusan berlalu Tina mulai mengurung diri di dalam rumah kosnya, setiap hari menatap cermin tua di kamarnya dalam diam dan ia akan menagis.

  "Aku tahu kau pasti akan jadi milikku"

Tina menghela nafas panjang, menyisir rambur kusutnya dengan susah payah, lalu dipolesnya pipinya dengam bedak, tak mampu menyembunyikan tanda hitam di pipi itu. dan terakhir ia memakai lipstik merah. Sekali lagi ia menatap cermin dengan cermat.
Tina berbalik dan melangkah menuju pintu terkunci di dalam kamar kosnya. Bau anyir tercium begitu pintu di buka, lampu menyala, ia berjalan ke arah ranjang tanpa kasur itu.
Sesaat ia mematung memandanginya, lalu ia terduduk.
  "Selamat pagi Rio"

End.


πŸ˜₯πŸ˜₯πŸ˜₯
Apakah itu yang dinamakan cinta mati, harus dijaga sampai mati, jangan sampai ke lain hati nanti jadinya patah hati.

Syeremm banget

Sebenernya cerita itu udah pernah saya edit tapi berhubung si lapi lagi rusak (hua...
😭😭) makannya nggak terlalu lengkap.

See you.....
(Agak loyo, karena si lapi)

Related Posts

No comments:

Post a Comment