--> HATI YANG BARU | Zahrul Share

Wednesday, July 3, 2019

HATI YANG BARU

| Wednesday, July 3, 2019

Peringatan: yang menulis cerita ini alias si pemilik blog nggak paham amat soal cinta, jadi moon maap kalau ada yang aneh dalam cerita ini.
Silahkan menikmati😁


HATI YANG BARU

Via.we heart it

Lima tahun berlalu, tapi tak cukup menghapus semua, aku masih tak bisa melupakannya, masih tak bisa membuka hatiku untuk orang lain, untuk suamiku sendiri.

Lima tahun yang lalu aku terpaksa melepaskan cintaku pada Doni karena ibu tidak setuju. Ia memintaku menikah dengan orang lain yang bahkan aku tidak pernah bertemu dengannya. Aku tidak bisa menolak permintaan ibu, beliau sudah tua dan sakit sakitan. Waktu itu aku merasa sakit sekali, aku sempat berpikir untuk kabur atau bunuh diri, tapi aku terlalu takut. Aku hanya bisa menangis sepanjang malam sampai hari pernikahan itu terjadi.

Sebenarnya suamiku sekarang, mas Herman, adalah pria yang baik, ia begitu menyayangiku, tidak pernah memaksa atau melarangku. Apapun yang ingin kulakukan dia selalu mendukungku, tapi tetap saja itu tak cukup untuk menumbuhkan benih-benih cinta di hatiku. Aku masih mencintai Doni, masih terikat erat dengannya. Meskipun sekarang aku sudah punya anak, aku tetap tak bisa.

Perasaan bersalah...?

Tentu saja aku merasakanya, setiap hari aku merasakanya, tapi tak bisa kupungkiri juga bahwa selama 5 tahun ini aku memendam kemarahanku, hanyut dengan keegoisanku, dan tak pernah benar-benar tulus menjalani hidup dengan mas Herman, aku selalu mengacuhkannya.
Bagiku tugasku sebagai seorang istri hanya menyiapkan makan untuknya, aku tidak peduli jika ia mengajakku ke suatu acara atau pergi berlibur, aku tahu aku salah, tapi semua itu hanya mengingatkanku bahwa aku sudah tidak bersama Doni, bahwa aku sudah berbagi hidup dengan orang lain yang tidak aku cintai.

Begitu juga dengan Andini, buah pernikahan kami. Sejak ia lahir pembantuku yang mengurusnya tidak pernah sekalipun aku memberinya ASI, menyuapinya makan, menidurkanya, hanya sekali dua kali aku menggendongnya itu pun dengan menggerutu. Yach... begitulah 5 tahun berlalu.

  ''Rosa, aku berangkat dulu.'' Ucap mas Herman, aku mencium tangannya, tidak ada kecupan di dahi atau acara membereskan dasi karena memang aku tak menginginkannya.

  "Andini masih tidur?" tanyanya
  "Iya."
  "Dia pasti lelah, dia aktif sekali." Mas Herman bicara dengan wajah berseri-seri. Aku tahu dia sangat dekat dengan Andini, jauh sekali jika dibandingkan denganku.

  "Sudah jam setengah 7" Aku menyelanya, mas Herman berhenti tampak tertegun sesaat.
Tapi seperti sifatnya sejak dulu, ia lekas menguasai diri.

  "Ya, sudah. Aku berangkat dulu."
Mas herman tersenyum lalu segera menaiki mobilnya. Aku terpaku sesaat di depan rumah, menatap mobil hitamnya yang semakin menjauh dan hilang. Sejujurnya aku begitu merasa jahat pada mas Herman. Apa salahnya padaku...? Dia tak pernah punya salah, dia pria yang baik dan bertanggung jawab.


Sejak pertama kali bertemu dengannya, mas Herman sudah menunjukan sikap sopan dan ramahnya padaku. Dia bahkan sempat bertanya sebelum rencana pernikahan itu benar-benar terjadi,
Apa aku mau jadi istrinya?
Waktu itu aku tak menjawab apapun, aku masih terlalu marah dan kecewa.

  "Rosa, aku tak mau menyiksamu, jika kau memang tak menginginkan pernikahan ini aku akan bicara pada ibumu. Aku tak ingin memaksamu, aku yakin ibumu akan mengerti."
Perkataannya waktu itulah yang membuat hatiku treyuh, aku menatapnya lama dan langsung menemukan ketulusan dalam matanya.

Ibu tidak salah memilihkan jodoh untukku, Mas Herman juga tidak salah karena menerimanya.

 Kurasa, akulah yang salah....

Kemarin malam ketika ia baru pulang kerja, seperti biasa aku sudah memejamkan mata di kamar, berpura-pura tidur. Aku melakukan itu sejak awal pernikahan kami, untuk menghindari hubungan fisik, aku tidak mau kejadian malam itu terulang lagi. Lalu tiba-tiba aku mendengarnya berjalan ke arahku, mataku meliriknya sedikit, ia sedang berdiri di samping ranjang, masih memakai seragam kerja. Aku tetap memejamkan mataku dan berharap mas Herman cepat pergi, dan yang terjadi di luar dugaanku.

Mas herman menunduk dan dengan lembut mengecup keningku. Itu yang membuatku merasa semakin jahat, karena aku tahu mas Herman begitu tulus mencintaiku, dan aku tak bisa membalasnya.

Gerimis masih berjatuhan sisa dari hujan semalam. Aku segera masuk ke dalam dan mengambil tasku. Pagi ini aku ada acara dengan teman-teman, semacam reunian. Sudah lama tidak bertemu, aku kangen dengan mereka.

  ''Bik, aku mau pergi dulu jaga Andini ya.''
  ''Baik nyonya.''
  ''Mau ke mana Rosa...?'' Tanya ibu yang tiba-tiba muncul, sudah 5 tahun ini ibu memakai kursi roda, karena itulah beliau tinggal denganku.

  ''keluar bu, ada acara sama temen.'' Aku menghampirinya dan mencium punggung tangannya.

  ''Apa nggak bisa di tunda, kasihan anakmu ditinggal terus.''

  ''Kan ada bibik, Ibuk juga kan bisa main sama Andini. Udah ah, buk, Rosa buru buru nih.'' Aku melenggang keluar, tahu di belakangku ibu sedang menghela nafas kecewa.

Aku melintasi gerimis pagi itu dengan mobil hitam kesayanganku.
Biarpun pagi ini gerimis , jalannan di Jakarta tetap saja macet. Mobil mobil berjajar seperti ribuan semut, memenuhi tiap ruas jalan yang ada, aku menggerutu di belakang kemudi berulang kali menekan klakson, harusnya aku sudah sampai 15 menit yang lalu.

  ''ting...'' Hp ku berbunyi, ada pesan masuk. Dari Anita.

    buruan Ros,udah di mulai nih acaranya,di sini ada Doni lho...

Doni?

Baru membaca namanya saja jantungku sudah berdebar tidak karuan, ternyata aku memang masih mencintainya. Ingatanku melayang pada masa masa 5 tahun yang lalu, saat aku dan Doni masih bersama, menjalin cinta, menikmati masa kuliah bersama, tapi semuanya selesai. Aku menikah, tapi bukan dengan Doni.

Tepat jam 08.30 pagi aku menghentikan mobilku di depan rumah Anita, rumah besar dengan banyak bunga itu tampak berbeda pagi ini. Orang-orang hilir mudik di sana menikmati makanan atau minuman yang tersedia. Aku turun dari mobilku berjalan menghampiri Anita dan beberapa teman lainya.

  ''Wah, Rosa....'' Anita memelukku lembut, cipika dan cipiki seperti anak SMA.

  ''Makin cantik aja nih...'' pujinya padaku.

  ''Iya, kayaknya hidup bahagia nih...'' ucap Meta, aku hanya tersenyum menanggapi ucapan mereka. Pandanganku menyapu
seluruh area pesta. Di mana dia...?

Akhirnya aku menemukan sosoknya di sana, sedang mengobrol bersama beberapa orang. Doni. Apa dia masih mencintaiku...?

  "Lagi liatin apa sich?" Anita mengikuti arah mataku dan kuyakin ia tahu apa yang kuperhatikan.

  "Eh, Ros. Kamu masih suka sama dia, kamu udah nikah lho dan dia... kamu kan nggak tahu dia udah punya gandengan apa belum."

Aku memikirkan kalimat Anita sejenak, tapi ingatanku mengulang hari itu.

  "Rosa, aku tahu mungkin kata-kataku kedengaran klise, tapi aku jujur sampai kapanpun aku nggak akan bisa lupain kamu."

Jika aku begitu sulit melupakan Doni, kurasa harusnya dia juga sama.

  "Aku mau menemuinya."
Aku berjalan mendekatinya, tak menggubris larangan Anita, berniat mencari tahu sekaligus melepas kerinduanku selama 5 tahun padanya. Ia masih tidak berubah, masih saja tampan, aku bisa melihatnya dari kejauhan membuat rinduku semakin tak tertahankan. Tinggal beberapa meter lagi aku akan melihatnya dengan jelas.
Tiba tiba...

  "Doni!"

Doni menoleh, bibirnya tersenyum hangat.
Prempuan itu mendekati Doni, menggayut manja di pinggangnya. Siapa perempuan itu...? mendadak aku merasa marah, berniat melabrak prempuan itu, tapi kuurungkan niatku.

Siapa aku...?

  ''Istriku.'' Ucap Doni pada temannya. Aku terpaku di tempatku.

Rupanya selama ini Doni sudah menikah, dia sudah melupakannku. Kenapa...? Kenapa...? Aku tidak tahu. Aku buru-buru meninggalkan tempat itu, pulang tanpa berpamitan pada Anita, menangis sepanjang perjalanan. Tidak pernah terpikir sebelumnya olehku Doni sudah menikah, atau aku yang bodoh karena tak pernah memikirkannya, terlalu berharap pada masa lalu sampai aku lupa bahwa 5 tahun bukan waktu yang sebentar. Gerimis kembali berjatuhan menemaniku sepanjang perjalanan pulang, makin lama makin deras aku menjalankan mobilku dengan cepat. Ingin buru-buru sampai di rumah, melepas kesedihanku dengan tidur sepanjang hari.

Sesampainya di rumah aku langsung masuk ke kamar, mengunci pintu dan merebahkan diri di ranjang, menangis tersedu sedu.


Aku membuka mata perlahan, badanku terasa capek sekali. Apa aku demam...? Dngan terhuyung aku berjalan keluar kamar, ada suara-suara tawa di ruang tamu. Apa itu mas Herman, Andini. Aku berjalan keruang tamu.

  ''kue... kue... siapa mau beli kue.'' Suara kecil itu melengking di seluruh rumah, menggema di telingaku, entah mengapa suara itu membuatku merindukan sesuatu. Andini... aku memperhatikannya bermain, tertawa bersama mas herman, ibuk, juga bibik. Kaki-kaki kecilnya berjalan mengelilingi ruang tamu, tampak menggemaskan sekali. kenapa aku tak pernah memperhatikannya?

Andini, anakku. Mataku mulai berkabut, bulir-bulir air mengalir di pipiku perasaan sesal itu menyeruak. Timbul setelah sekian tahun aku tak pernah memperhatikannya.

  ''Bunda..'' Andini memanggilku yang masih terpaku di puncak tangga, berhenti berlari-lari. Semua mata di ruang tamu tertuju padaku. Aku berjalan menuruni tangga, mendekati Andini, memeluknya erat. Pelukan pertama setelah 3 tahun usianya. Kutumpahkan semua rindu yang datang tiba-tiba. Bagaimana mungkin aku tidak pernah memperhatikannya, mendengarnya bicara untuk pertama kali, berjalan untuk pertama kali, kenapa aku tak pernah memperhatikannya.

Putri kecilku.... dari mana ia belajar memanggilku bunda? Aku menangis tersedu-sedu sesenggukan di bahu Andini.

  ''Bunda, kenapa nangis...?'' Ya Allah bahkan ia tak mau aku menangis, padahal selama ini aku selalu meningglkannya saat ia menangis. Airmataku semakin deras mengalir, bibirku tidak sanggup mengucapkan apapun selain lenganku yang terus memeluknya. Sebuah tangan hangat menyentuh bahuku dengan lembut, aku menoleh.
Mas Herman, ia tersenyum padaku, seolah menyemangatiku dalam senyumnya, ia bahkan masih memakai baju kantornya. Salahku karena mengunci pintu kamar tadi pagi. Aku menangis tersedu-sedu lagi. Aku juga merasa bersalah pada mas Herman. Dia suami yang baik, tapi kenapa aku menyia-nyiakannya. Maafkan aku ya Allah, mulai sekarang aku berjanji tak akan mengacuhkan mereka, aku akan mencintai mereka seperti mereka mencintaiku, akan kumulai semuanya dari awal, akan kubuka hatiku, hati yang baru, untuk mereka. Mas herman dan Andini.

Wah... Ini cerita pertama yang saya bikin dengan serius dulu... Dulu sekali pas pengen kirim cerpen ke penerbit, tapi, yah, nggak pernah lolos....

Ora popo...
Nikmati aja ya.

See you👋😁

Related Posts

No comments:

Post a Comment